Dosa Besar Sehari-hari
BismiLlahi Ar-Rahmani Ar-Rahiimi
Allahumma Sholli 'Alaa Sayyidinaa Muhammadin
Wa 'Alaa Aalihii wa shahbihi
Dosa adalah perkara yang bertentangan dengan perintah Allah, baik perintah untuk meninggalkan sesuatu atau melakukannya. Perintah tersebut bisa kita ketahaui dari memahami AlQuran dan Hadits. Orang yang bisa memahami AlQuran dan Hadits secara langsung disebut mujtahid mutlak, dan menurut pendapat sebagian ulama' tidak ada orang di zaman sekarang yang bisa mencapai derajat tersebut. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafiiy, dan Imam Hanbaliy adalah empat dari sekian mujtahid mutlak. Ketika kita tidak bisa memahami AlQuran dan Hadits secara langsung, maka seyogyanya kita mempelajari kitab-kitab karangan ulama' yang pasti mereka menyandarkannya kepada AlQuran dan Hadits. Jadi ketika kita mempelajari kitab-kitab kuning, sebenarnya kita sedang mempelajari AlQuran dan Hadits dengan cara yang lebih mudah. Menurut aku pribadi, mempelajari kitab kuning hukumnya wajib karena menjauhi dosa itu hukumnya wajib, dan kita tidak bisa menjauhinya kecuali kita mengetahui apa-apa saja perintah Allah. Kita tidak bisa memahami perintah Allah kecuali kita paham AlQuran dan Hadits, dan tentu kita tidak mampu untuk mencapai derajat mujtahid mutlak yang bisa mengambil hukum dari AlQuran dan Hadits secara langsung, maka wajib bagi kita untuk memahami kitab-kitab kuning yang memuat perintah-perintah Allah.
Dalam pembahasan para ulama', dosa biasanya dibagi menjadi dua yaitu dosa kecil dan dosa besar. Para sahabat dan tabiin berbeda pendapat untuk bilangan dosa besar, ada yang mengatakan 4, 7, 11, 70, dan sebagainya yang tidak mungkin kita sebutkan tafshilnya. Salah satu pendapatnya adalah setiap dosa yang diancam oleh Allah dengan neraka maka itu dosa besar sedangkan dosa kecil adalah selain dosa besar tadi. Namun ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang namanya dosa besar-kecil, karena setiap perkara yang menyalahi perintah Allah maka itu termasuk kejahatan yang besar. Walaupun begitu, alangkah baiknya kita tetap membagi dosa menjadi besar dan kecil, agar kita tau mana kejahatan yang benar-benar sudah kelewat batas dan mana yang tidak. Tidaklah dia disebut dosa besar kecuali dampaknya terhadap agama, diri sendiri, orang lain, dan masyarakat itu sangat buruk.
Dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan lebih mematikan hati daripada dosa besar yang dilakukan sekali. Bukankah tetesan-tetesan air yang berlangsung lama bisa membuat batu itu berlubang, dan 1000 liter air yang ditumpahkan sekaligus pada batu tidak akan berdampak apa-apa? Karena itu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda:
خَيْرُ الْأَعْمَالِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
"Sebaik-baiknya amal adalah yang terus dilakukan, walaupun sedikit"
Jadi kamu membaca AlQuran setiap satu hari satu lembar itu lebih baik daripada membaca 10 juz dalam satu hari lalu tidak membacanya lagi sampai bulan depan, kamu dzikir setiap habis sholat 5 menit itu lebih baik daripada kamu mujahadah sebulan sekali selama 3 jam, dan kamu membaca 10 halaman buku sehari sekali itu lebih baik daripada mengkhatamkan buku dalam sehari lalu tidak membacanya lagi. Begitupun dosa kecil yang kamu lakukan setiap hari dan tidak kamu sadari lebih berbahaya dari dosa besar yang kamu sadari. Oleh karena itu, kita harus selalu beristighfar kepada Allah setiap harinya, kita tidak tahu apakah kita telah melakukan dosa atau tidak karena
وَإِنَّ نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصُوْهَا وَإِنَّ ذُنُوبَكُمْ أَخْفَى مِنْ أَنْ تَعْلَمُوْهَا وَلكِنْ أَصْبِحُوا تَوَّابِيْنَ وَأَمْسُوْا تَوَّابِيْنَ يَغْفِرْ لَكُمْ مَّا بَيْنَ ذَلك
[أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، ٣٦٤/٤]
"Sesungguhnya nikmat Allah lebih banyak daripada yang kalian hitung, dan dosa-dosa kalian itu sangat samar sampai tidak bisa kalian ketahui. Maka beristighfarlah pada pagi dan sore hari pasti diampuni oleh Allah dosa-dosa kalian"
bahkan Nabi kita yang sangat mulia pun beristighfar tidak kurang 70 kali dalam sehari. Alangkah baiknya, sebagai bukti kita cinta kepada beliau, kita beristighfar tidak kurang dari itu.
Walaupun begitu, dosa besar tidak akan pernah terjadi kecuali didahului dosa-dosa kecil. Dosa besar adalah efek domino dari dosa-dosa kecil yang dilakukan terus menerus atau tidak disadari. Jarang sekali atau bahkan tidak mungkin perzinaan dilakukan tanpa ada gombalan-gombalan, rayuan, meraba, dan mencium sebelumnya, atau jika tidak didahului itu pasti didahului hubungan pacaran yang termasuk perkara haram. Jadi setiap dosa besar pasti dikelilingi dosa-dosa kecil yang mungkin tidak disadari oleh pelakunya.
Dalam literatur para ulama', ada sebab-sebab yang menjadikan dosa kecil itu menjadi dosa besar.
- Dosa kecil yang terus menerus dilakukan. Sama seperti yang sudah dijelaskan di atas, dosa kecil yang terus menerus dilakukan akan menjadikannya dosa besar. Tidak bisa dinamakan dosa kecil jika terus menerus dilakukan, dan tidak ada yang namanya dosa besar jika setelahnya beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Pada intinya setiap dosa yang dilakukan berulang kali akan menjadikan dosa itu masuk ke kategori dosa besar yang dapat mematikan hati dan meredupkan iman.
- Rasa senang ketika melakukan dosa. Setiap dosa yang dirasa nikmat, dan menyenangkan bagi pelakunya maka dosa tersebut menjadi dosa besar. Dan efek yang ditimbulkan ke hati akan semakin besar. Kotornya hati, gelapnya hati, kerasnya hati akan semakin dahsyat ketika seseorang merasa nikmat dalam melakukan dosa. Ini sering kita temukan di kehidupan sehari-hari seperti yang bangga ketika telah menurunkan martabat seseorang, yang bangga ketika mengalahkan seseorang dalam debat, yang sangat bahagia ketika membuka kejelekan seseorang, yang sangat antusias men-share kesalahan orang lain, dan sebagainya yang bisa kita lihat sendiri.
- Melakukan dosa dan memberitahukannya ke orang lain. Ketika kita terlanjur melakukan dosa, maka jangan pernah beritahu kepada siapapun. Menutup aib orang lain itu wajib, apalagi menutup aib diri kita sendiri. Dosa itu sebuah aib, maka seyogyanya kita menutupi aib kita sebagaimana Allah menutupinya. Dalam suatu Khabar dikatan {كُلُّ النَّاسِ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ} "Setiap manusia dimaafkan kecuali orang yang menampakan" maksudnya menampakan kejelekan-kejelekannya kepada orang lain.
- Pelaku dosa adalah orang alim yang dijadikan teladan dan diikuti banyak orang. Karena ketika dia melakukan dosa kecil, orang-orang awam akan menganggap hal tersebut bukanlah sebuah dosa. Semisal kita dianggap baik oleh orang-orang, dan kita melakukan kejelekan yang 'kecil' maka mereka akan berani melakukannya, karena memang sifat dosa kecil itu hampir tidak kelihatan (samar) dan mungkin sekali dianggap bukan dosa oleh orang awam. Tidakkah kalian lihat ketika ada seorang yang dianggap ulama' oleh masyarakat kemudian dia sering melontarkan kata-kata kotor, senang bermewah-mewahan, senang memaki orang lain, maka masyarakat yang menganggapnya ulama' akan berani melakukan hal-hal tersebut karena mereka punya legitimasi dari orang yang dianggapnya sebagai ulama'.
Untuk poin nomor 3 & 4 ini menurutku adalah dalil 'pencitraan', ketika kita memang orang alim, terpandang, atau orang yang dianggap baik maka sebisa mungkin kita hanya menampakkan kebaikan-kebaikan kita. Tentu niat kita melakukan pencitraan bukan untuk dianggap baik oleh orang-orang, melainkan kita tidak ingin menjerumuskan orang lain untuk berani berbuat hal buruk. Jadi pencitraan tidak selamanya buruk selama niat kita baik, sebagaimana hadits yang masyhur bahwa Setiap sesuatu itu tergantung niatnya. Bahkan pencitraan bisa menjadi wajib jika kita tahu apabila tidak melakukannya akan menjerumuskan orang kepada hal-hal yang buruk.
5. Menganggap dosa kita kecil dan "tidak apa-apa". Ini yang sangat sering terjadi di kalangan orang awam, atau bahkan orang alim yang terkekang oleh syahwat-syahwatnya, tenggelam dalam gelapnya hati, terbiasa oleh keadaan ghaflah (tidak ingat Allah), dan diberi cobaan berupa kerasnya hati. Untuk poin nomor lima ini aku mempunyai tiga dosa yang biasanya dianggap tidak apa-apa, dan menjadikannya dosa besar yang mematikan hati serta menjauhkan dari Allah yang maha dekat.
Pertama, ghasab. Ghasab adalah menguasai hak orang lain secara zalim. Biasanya dibedakan bahwa mencuri itu diam-diam dan ghasab itu terang-terangan. Hal ini sangat sering dianggap sepele oleh orang-orang khususnya santri pondok pesantren. Mereka menganggap ghasab itu sudah lumrah dan tidak apa-apa. Dengan berdalih عُلِمِ رِضَاهُ (sudah pasti ridho) mereka melakukannya secara serampangan. Budaya yang buruk ini harus kita hentikan, jangan sampai adat 'Sudah pasti ridha' menjadikan ghasab yang merupakan sebuah dosa menjadi hal yang lumrah. Adat yang bertentangan dengan syariat tidak akan pernah bisa menjadi hukum. Hal inilah yang menjadikan ghasab masuk ke dalam kategori dosa besar yang bisa mematikan hati dan menjauhkan kita dari Allah.
Kedua, ghibah. Ghibah atau ngerasani adalah menyebutkan hal-hal tentang seseorang, yang apabila dia mendengarnya dia akan marah atau tidak senang. Karena menjelaskan ghibah akan membutuhkan space tulisan tersendiri, jadi aku hanya menjelaskan ghibah dengan makna tersebut. Sering sekali kita menganggap ngerasani itu tidak apa-apa, bahkan sering kita melakukannya. Kita melakukannya tanpa merasa bersalah, dengan perasaan senang, dan berkali-kali. Maka ghibah ini adalah dosa kecil yang sangat berpotensi menjadi dosa besar. Biasanya kita dengan bangganya menyebutkan kejelekan-kejelakan orang lain tanpa rasa bersalah, sangat senang sampai terbahak-bahak ketika berada di majelis yang membicarakan kekurangan orang lain dan menganggapnya hal yang biasa, bahkan mungkin hampir tiada hari tanpa ada ghibah di dalamnya. Agaknya ghibah ini menjadi dosa besar sehari-hari kita yang tidak kita sadari. Tanpa sadar dan dengan senang hati kita melakukan dosa besar yang semakin mengeraskan hati kita, memperkeruh kekotoran ruh kita, dan mematikan nurani kita.
Sungguh dosa yang kecil seperti iniliah yang banyak membuat setan senang dan memenangi peperangan dengan manusia. Apalagi sekarang zamannya sosial media yang sangat luar biasa menjadi ladang untuk ghibah. Biasanya ketika aku melihat kejadian viral yang mengandung 'kejelekan orang lain' aku tidak mau ikut men-share itu, karena memang itu termasuk ghibah. Kita bisa melihat bagaimana antusiasme orang-orang ketika melakukan ghibah, dan merasa hal itu harus dilakukan. Tidak ada kerusakan yang lebih besar kecuali dosa yang sudah tidak dianggap dosa lagi. Kita harus sering-sering beristighfar dan memintakan orang-orang, khususnya umatnya kanjeng Nabi, ampunan agar kita dan mereka diampuni oleh Allah.
Ketiga, hubungan lawan jenis. Yang aku maksud dengan hubungan di sini adalah hubungan sosial antar lawan jenis, laki-laki dan perempuan. Memang ini tidak separah keadaan ghibah tadi, tetapi tetap saja ini masuk ke dosa kecil yang dianggap 'tidak apa-apa'. Seperti laki-laki melihat perempuan atau perempuan melihat laki-laki, hal ini sering dianggap tidak apa-apa, padahal menurut qoul mu'tamad mazhab Syafiiy hal ini tidak diperbolehkan, atau seperti berbincang satu sama lain yang dapat menimbulkan syahwat, dan seperti berkholwatnya laki-laki dan perempuan. Khalwat sendiri batasannya
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ المَدَارَ فِيْ الخَلْوَةِ عَلَى اجْتِمَاعٍ لَا تُؤْمَنُ مَعَهُ الرَّيْبَةُ عَادَةً بِخِلَافِ مَا لَوَ قُطِعَ
بِانْتِفَائِهَا فِيْ العَادَةِ فَلَا يُعَدُّ خَلْوَةً
نهاية المحتاج الجزء السابع صحـ 163
"Diambil kesimpulan bahwa inti dari Khalwah adalah perkumpulan yang menimbulkan kecurigaan dalam pandangan masyarakat. Berbeda dengan perkumpulan yang sudah pasti tidak ada kecurigaan, maka tidak dinamkan khalwah"
dalil ini memang riskan digunakan untuk legitimasi perkumpulan laki-laki dengan perempuan yang tidak menimbulkan kecurigaan, seperti perkumpulan rapat, perkumpulan di kafe yang banyak orangnya, atau perkumpulan-perkumpulan lainnya karena memang perkumpulan-perkempulan tersebut aman dari adanya kecurigaan melakukan yang aneh-aneh. Tetapi kita kadang lupa satu hal, apakah kita yakin aman dari munculnya syahwat dari salah satu orang yang ikut berkumpul, jika yakin lalu apakah kita yakin bahwa keyakinan tidak munculnya syahwat itu benar? bagaimana kita bisa tahu bahwa itu bukan syahwat, sedangkan kehidupan kita sehari-hari tenggelam dalam syahwat. Orang yang bisa membedakan mana syahwat dan bukan adalah orang-orang yang sudah bersih hatinya, dan kesehariannya jauh dari syahwat.
Terkadang ada orang yang berdalil bahwa melihat tidak apa-apa asal aman dari fitnah. Fitnah sendiri maknanya:
الفِتْنَةُ هِيَ مَيْلُ النَّفْسِ وَدُعَاؤُهَا إِلَى الجِمَاعِ أو مُقَدِّمَاتِهِ
توشيح على ابن قاسم صحـ 197
"Fitnah itu munculnya condong dan dorongan nafsu untuk melakukan jima' dan pembuka-pembuka jima'(foreplay)"
lalu kita mengatakan bahwa selama kita yakin bahwa tidak akan terjadi jima' dan foreplay-nya, maka rapat dan perkumpulan itu tidak apa-apa. Apakah hanya ini fungsi dalil, untuk melegitimasi perkara yang dilarang Allah? untuk menabrak aturan-aturan hanya karena mengikuti nafsu sesaat?
Hal-hal ini seakan sudah menjadi biasa di kalangan anak muda, kita yang sudah mengetahuinya sebisa mungkin untuk menjauhi dosa kecil yang punya potensi menjadi dosa besar ini. Takwa adalah hati-hati, begitulah ungkapan ulama'. Sebisa mungkin kita menjauhi hal-hal yang dapat mengeraskan hati kita, mengotori kesucian ruh kita, dan mematikan hati kita. Dosa-dosa besar sehari-hari ini jika terus kita biarkan akan membawa kita semakin jauh kepada Allah, yang akhirnya membuat hidup kita berantakan, rumit, dan sumpek.
فإن الذنب كلها اسْتَعْظَمَهُ الْعَبْدُ مِنْ نَفْسِهِ صَغُرَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى لِأَنَّ اسْتِعْظَامَهُ يَصْدُرُ عَنْ نُفُورِ الْقَلْبِ عنه وكراهيته له وَذَلِكَ النُّفُورُ يَمْنَعُ مِنْ شِدَّةِ تَأَثُّرِهِ بِهِ وَاسْتِصْغَارُهُ يَصْدُرُ عَنِ الْإِلْفِ بِهِ وَذَلِكَ يُوجِبُ شِدَّةَ الْأَثَرِ فِي الْقَلْبِ
[أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، ٣٢/٤]
"Setiap dosa yang dianggap besar oleh seorang hamba, maka akan menjadi kecil di hadapan Allah. Karena penganggapan dosa adalah sesuatu yang besar itu muncul dari keengganan hati kita untuk melakukan itu dan kebencian kita terhadap suatu dosa. Rasa enggan di hati kita-lah yang mencegah dosa tersebut akan berdampak sangat buruk bagi hati. Adapun penganggapan kecil suatu dosa muncul dari terbiasanya kita terhadap dosa itu, dan rasa terbiasa ini pasti berdampak sangat buruk bagi hati"
Akhirul kalam, mari kita bersama-sama memperbanyak istighfar dan bertaubat kepada Allah
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ والسّلام : ((كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ)) رواهُ الترمذي٬ وابن ماجه
"Rasulullah bersabda : Setiap manusia itu berlaku salah, dan sebaik-baiknya orang yang berlaku salah adalah yang banyak taubatnya"
adapun taubat itu termasuk perbutaan yang bersifat qolbiyyah artinya ketika kita sudah merasa bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Allah, merasa lemah dihadapan-Nya karena telah berbuat dosa, takut jika Allah marah karena dosa kita, dan sebagainya yang menunjukan kelemahan kita dan keagungan Allah, maka itu semua sudah termasuk taubat. Pun sebaliknya, jika kita hanya istighfar tanpa ada rasa-rasa seperti yang telah disebutkan ini, maka kita belum disebut taubat. Jika teman-teman merasa bingung apa itu dosa,
[عن [النواس بن سمعان الأنصاري]:] الإثمُ ما حاكَ في صدرِكَ، وكرِهتَ أنْ يطَّلعَ عليه النّاسُ الشوكاني (ت ١٢٥٥)، الفتح الرباني ١١/٥٧٢١ • معروف • أخرجه مسلم (٢٥٥٣)
"Dari Nawas bin Sam'an al-Anshariy : Dosa adalah yang mengganjal di hatimu, dan kamu tidak senang jika dilihat orang lain"
dan kanjeng Nabi dawuh اِسْتَفْتِ قَلْبَك tanyalah hatimu, apakah ini sesuatu yang pantas dilakukan atau tidak. Namun sayangnya jika hati kita masih kotor, keras, dan tidak tersinari oleh nur-nur dari ilmu, maka kadang hati kita tidak bisa membedakan mana yang mengganjal dan tidak, atau mana yang buruk dan baik. Maka dari itu kita harus dekat kepada para ulama' yang hatinya sudah bersih dan mengetahui mana perkara yang merupakan baik dihadapan Allah dan mana yang buruk.
Wallahu a'lam.
- Gaza Satria Lutfi
Mau nanyain pertanyaan receh :(
BalasHapusLebih disayang mana (sama Allah), orang yang ngelakuin dosa, terus aibnya kebuka sehingga orang orang tau kejelekannya, atau orang yang berbuat dosa terus-terusan tapi masih aja ditutup aibnya? :"
Lebih disayang orang yang mau taubat. Karena ketika hatinya tergerak untuk taubat, tandanya Allah mau menerima taubatnya:)
HapusKurang lebih , sangat relevan 🗿
BalasHapus