Jati Diri, Masa Dicari?
Sering dengar kata-kata yang terkenal di kalangan anak muda, "Pencarian Jati Diri". Kenapa jati diri harus dicari, apakah dia hilang, berada jauh, atau tersesat? atau jangan-jangan dia tidak pernah ada dan kita hanya mencari sesuatu yang tidak ada.
Kita dilahirkan dalam keaadaan fitrah, polos, tidak condong terhadap satu sifat tertentu. Kemudian kita tumbuh dan berkembang dalam keluarga kita masing-masing yang berbeda-beda budaya dan karakteristiknya. Kemudian kita masuk ke sebuah sekolah, di situ juga terbentuk pribadi dan karakter kita masing-masing.
Ada yang bilang bahwa hidup di dalam keluarga yang harmonis itu privilege, tentu saja. Bahkan hidup di dalam keluarga yang berpendidikan tinggi dan gemar berliterasi adalah sebuah anugerah besar yang benar-benar harus kita syukuri. Kita dulu hanyalah anak polos yang mengikuti aliran air kemana dia pergi. Terbentuk dengan lingkungan tanpa adanya upaya untuk memilih aku ingin memiliki sifat ini, aku ingin menjadi seperti ini. Kemudian semakin tumbuh besar kita memahami bahwa kita tidak harus terus mengikuti aliran air yang keruh, kita bisa berpindah ke aliran yang jernih atau kita bisa menjadi mata air yang menjernihkan air-air yang kotor.
Terkadang kita tidak bisa mengubah suatu keadaan, tapi kita bisa mengubah cara kita menyikapi keadaan tersebut. Setiap keadaan, baik ataupun buruk, adalah kesempatan kita untuk menentukan mau jadi apa kita. Terkadang juga sebuah gangguan (distract) lebih baik daripada ketenangan.
Seseorang pernah sholat, kemudian adik-adiknya bercanda di dalam rumah, akhirnya dia terganggu dan menjadi tidak fokus, tapi dia ingat bahwa gangguan ataupun ketenangan, itu tergantung bagaimana kita menyikapinya, akhirnya dia menganggap gangguan itu sebagai tantangan untuk fokus. Dan benar saja, dia bisa fokus di tengah hiruk piruk rumahnya. Malah pengakuan dirinya, terkadang ketika sholat dalam keadaan yang sangat tenang, dia malah kehilangan fokus, dan tidak hudur di setiap bacaannya. Bacaan-bacaan sholatnya hanya suara lewat yang tidak diikuti oleh hatinya. Saking hafalnya dia dengan semua bacaan sholat, jadi dia tidak perlu memikirkan apa yang harus dibaca selanjutnya bukan? Sekarang setiap distract yang ada malah menjadi stimulus dia untuk fokus.
Kita sering sekali membutuhkan distract pada apa yang kita lakukan. Bayangkan berapa banyak dari kita yang memiliki kebiasaan mengerjakan tugas mepet dengan deadline. Jika tidak ada deadline maka kita tidak akan ada hasrat untuk bertindak dan menyelesaikan tugas itu. Kemudian tiba-tiba hasrat yang sangat besar muncul ketika kita mengingat bahwa deadlinenya itu besok. Deadline itu sebenarnya distract, kita tidak pernah bisa menyelesaikan tugas dengan sempurna apabila bayangan deadline terus berputar di kepala kita. Dia malah sekarang menjadi keharusan pada setiap tugas yang kita kerjakan. Sebenarnya ini sebuah penyakit, sering disebut sebagai procrastination atau menunda-nunda. Kalian tahu bahwa menunda itu adalah penyakit hati? Tapi kan ini tugas kuliah, bukan masalah akhirat, masa masuk penyakit hati? itulah, yang namanya kebiasaan tidak mungkin hanya terjadi pada satu perbuaatan. Kita tidak mungkin menunda dalam hal mengerjakan tugas, dan sat-set dalam hal sholat. Ketika satu kebiasaan sudah menetap di hati, maka itu akan terjadi di semua pekerjaan.
Kembali lagi bahwa kita terkadang tidak bisa mengubah sebuah keadaan yang terjadi pada kita, seperti pada kasus tumbuh di antara keluarga yang harmonis dan berpendidikan. Bahkan kita tidak bisa mengubah sikap kita pada saat itu, karena akal kita belum sempurna pada saat itu, kita hanya mengikuti arah arus saja. Maka itulah yang namanya takdir, kita sudah ditakdirkan untuk memiliki sifat yang seperti ini sekarang.
Lalu sekarang kita sudah tumbuh dewasa, kita bisa berpikir mana yang baik dan tidak. Kita juga sudah bisa mengubah cara kita menyikapi suatu keadaan, terlebih keadaan yang memang tidak bisa kita ubah, keadaan yang terpaksa kita jalani. Kita harus membentuk diri kita lewat keadaan-keadaan tersebut, karena kita adalah kertas putih yang harus ditulis, dan tanah liat yang harus dipahat.
Ketika kita terpaksa untuk memimpin orang banyak, mengurus orang banyak, maka gunakanlah kesempatan itu untuk membentuk jiwa kepemimpinan. Sikapilah dengan cara "Ini adalah kesempatanku untuk membentuk diri menjadi pemimpin, mungkin banyak orang yang tidak memiliki kesempatan ini". Ketika kita terpaksa berada di lingkungan yang suka rasan-rasan atau menggunjing orang lain, gunakanlah kesempatan itu untuk membentuk dirimu, "Aku ingin menghilangkan sifat buruk sangka, maka kesempatanku, karena di sini banyak sekali yang bisa dicurigai, aku harus bisa berbaik sangka kepada siapapun".
Jadi, ini semua bukan tentang mencari jati diri, tapi tentang membentuk jati diri. Kita mau jadi apa, sifat apa yang kita inginkan, karakter apa yang harus ada pada diri kita. Buku adalah alat-alat yang sangat penting dalam perjalanan membentuk jati diri kita, Keadaan yang harus kita sikapi adalah bahan-bahannya, dan Bacaan adalah cara bagaimana kita membentuknya. Kamu di masa depan adalah apa yang kamu lakukan sekarang. Takdirmu adalah kebiasaanmu. Kamu tidak bergantung pada orang lain atau lingkungan, tapi bergantung pada hatimu, pada akalmu, bagaimana keduanya menyikapi suatu keadaan.
Gaza Satria Lutfi
Komentar
Posting Komentar