Apakah Lingkungan Toxic Itu Benar Ada?

https://unsplash.com/photos/rrX4SWCyJQ8?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya baik fisik maupun psikis. Suka-tidak suka, manusia harus hidup berdampingan satu sama lain, tidak bisa sok-sokan untuk hidup mandiri dan merasa tak butuh orang lain.

Orang yang hendak masak, tentu memakai gas elpiji buatan orang lain, rempah-rempah panenan orang lain, panci buatan orang lain, kompor gas inovasi orang lain, dan masih banyak "orang lain" lainnya yang berperan penting ketika dia hendak memasak. Itu baru hal sederhana berupa memasak, bagaimana dengan hal-hal lain yang tentunya membutuhkan individu lain untuk terealisasi.

Ketika secara alamiah kita adalah makhluk sosial, maka mau tidak mau kita akan hidup berdampingan dengan orang lain yang tentu saja sifat dan mindsetnya tidak selalu sama dengan kita. Dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda

... والأرْواحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ، فَما تَعارَفَ مِنْها ائْتَلَفَ، وما تَناكَرَ مِنْها اخْتَلَفَ

Ruh-ruh itu seperti pasukan yang dibagi menjadi bermacam divisi. Apabila dia satu divisi, maka akan terbangun keharmonisan. Apabila berbeda, maka akan tercipta perselisihan.


Bisa disimpulkan bahwa manusia memang berbeda-beda sifatnya, dan sangat wajar bila kita tidak bisa klop dengan setiap orang yang kita temui. Kita hanya akan merasa klop jika bersama dengan orang yang satu mindset, satu watak, dan satu sifat dengan kita.

Ketika berdampingan adalah sebuah keniscayaan, dan perbedaan juga sebuah keniscayaan, maka yang harus kita lakukan adalah menyikapi hal ini dengan baik. Kita bisa mengeluh karena keaadaan dan lingkungan yang tidak sesuai dengan ruh kita, tapi kita juga bisa terpacu dan bersemangat untuk meng-improv diri kita menjadi lebih baik. Kita tidak bisa mengatur bagaimana dunia ini berjalan, tapi kita bisa mengatur bagaimana cara kita menyikapi dunia ini.

Tidak jarang terdengar orang mengeluh tentang lingkungan tempat ia tinggal, sistem tempat ia belajar, orang-orang yang hidup bersama mereka, atau alat yang membersamai mereka. Tak tahu apa yang mereka keluhkan, juga tak terlalu yakin kalau mereka mengeluh tentang keadaan maka keaadaan akan otomatis berubah seperti yang dia mau.

Seperti salah satu penyair berkata:

لَقَد أَسِفتُ وَماذا رَدَّ لي أَسَفي

لَمّا تَفَكَّرتُ في الأَيّامِ وَالقِدَمِ

Aku bersedih, setelah kupikir-pikir, kesedihanku itu mengembalikan apa sih?


Tapi sebenarnya lingkungan toxic itu benar-benar ada gak sih? Apakah itu cuman justifikasi untuk kemalasan kita atau memang sebenarnya kita emang berada dalam lingkungan yang toxic? Jawabannya bisa iya bisa tidak.

Karena memang pengertian dasar terhadap lingkungan toxic atau toxic-relationship sudah mulai memelar kemudian hari. Kalau lingkungan toxic itu berarti dengan di dalamnya kita akan menguras energi, membuang uang, menghabiskan waktu tanpa ada timbal balik manfaat, maka berarti lingkungan toxic benar-benar ada. Tapi kalau pengertiannya adalah lingkungan atau sistem yang membuat kita tidak berkembang, ya itu hanya justifikasi kita aja terhadap ke-enggan-an kita untuk berubah, untuk merasakan rasa sakit, dan untuk berjuang.

Tidak bisa dielak, bahwa memang sebagian tempat memiliki hawa negatif yang membuat kita malas untuk bertindak, mendorong kita untuk stagnan, dan menggiring kita untuk melakukan hidup yang itu-itu saja. Tapi kita pasti tidak menutup mata, di lingkungan yang seperti itu ada saja satu atau dua orang yang benar-benar bisa berkembang, bisa improv, bahkan bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Artinya, bukan salah lingkungannya kan?

Gambarannya seperti ini, kalau negatif diibaratkan sebagai lampu kuning remang-remang, dan positif sebagai lampu putih yang bersinar. Kalau kita punya 100 watt daya di dalam hati kita, sedang lampu remang-remangnya hanya 10 watt katakan, maka tentu cahaya kuning remang akan tunduk dan tertutupi oleh silaunya cahaya putih yang kita punya. Kalau keduanya sama-sama 50 watt, ya tentu akan bertabrakan satu sama lain. Kalau hawa negatif lebih besar dari iman di dalam diri kita dan cahaya di dalam hati kita tentu saja kita akan terbawa oleh cahaya kuning remang.

Jangan selalu salahkan lingkungan kita yang punya kapasitas 10 watt energi negatif. Tapi salahkan cahaya di dalam hati kita kenapa hanya berkekuatan 5 watt. Bisa tidak cahaya hati kita tambah menjadi 15 atau 20? Kalau bisa, bagaimana cara menambahnya? Kalau tidak bisa, ya berarti memang kita harus benar-benar mencari lingkungan yang cahaya remangnya hanya kurang dari 5 watt. Tapi tentu ini hanyalah pilihan pecundang, yang sudah mengaku kalah bahkan sebelum mencoba berperang.

Kebanyakan buku best seller zaman sekarang menyuruh kita untuk lebih berfokus kepada diri kita ketimbang orang lain atau faktor eksternal lain. Sebutlah buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck, Seni Bersikap Bodo Amat, atau Kirawareru Yuki, Berani Tidak Disukai, yang aku yakin, bahkan sebelum membaca utuh bukunya, berisi tentang penekanan terhadap improvisasi diri dari pada mengeluh tentang keadaaan sekitar.

Lingkungan tidak melulu tentang ruang nyata di bumi. Smartphone, laptop, tv, atau aplikasi di dalamnya seperti Youtube, Instagram, TikTok dan lainnya juga merupakan lingkungan. Kalau kita sudah tau cahaya remang negatif yang ada di TikTok sebutlah 500 watt, ya sudah seharusnya kita sadar bahwa kita yang hanya punya cahaya 100 watt dan iman setipis tisu, tidak perlu sok-sokan bergabung dalam lingkungan itu. Lha wong yang 10 watt tadi saja sudah buru-buru mau pindah, eee lha yang 500 watt malah masih tetap di-install dan dibuka setiap hari. 

Jadi, apapun itu, kita harus muhasabah dan mengenali lingkungan yang kita tempati, dan lingkungan yang kita buat (aplikasi-aplikasi yang kita install di Hp misalnya) apakah sudah sesuai dengan kapasitas iman kita, cahaya hati kita, atau belum. Kalau sekiranya belum, ya pilihannya dua, berjuang dan membersihkan hati dengan rasa sakit serta lelah, atau kabur sebagai pecundang yang menyerah sebelum berperang.

Hadits yang disebutkan di atas sebenarnya punya awalan yang sengaja aku sebut di akhir, yaitu

النَّاسُ مَعادِنُ كَمَعادِنِ الفِضَّةِ والذَّهَبِ، خِيارُهُمْ في الجاهِلِيَّةِ خِيارُهُمْ في الإسْلامِ إذا فَقُهُوا،

Manusia itu seperti tambang, tambang emas atau perak. Siapapun yang terbaik di masa jahiliyah maka akan menjadi terbaik juga di masa Islam, apabila dia memahami agama.


Artinya memang bukan lingkungan yang menentukan baik buruknya kita, tapi apa yang ada di dalam hati kita. Kalau kita hanya tambang-tambang batu bara yang hitam, maka yang kita keluarkan hanya batu bara. Kalau diri kita adalah tambang berlian, maka kita juga akan menghasilkan berlian di manapun kita hidup.

Sebagai orang yang pernah merasa berada di lingkungan yang kata diriku sendiri "Toxic", aku sangat mengamini sabda dari Beliau. Yaaa, karena memang setelah aku berpindah ke tempat yang aku dambakan, yang aku pikir bisa mengubah hidupku, ternyata setelah sampai tempatnya sama saja tidak berubah. Batu bara akan tetap menghasilkan batu bara, yang hitam. Jadi daripada sibuk-sibuk menilai orang lain dan menilai tempat kita tinggal dan berjuang, lebih baik menilai diri sendiri, kurangnya apa, bisa improv di aspek mana, kelebihan yang dipunya apa dan lain sebagainya.


-Gaza Satria Lutfi

Komentar

Populer

Dosa Besar Sehari-hari

Pesantren Melek Zaman

Sibuk, apa itu?

Setiap Orang Punya Keindahan, Lho

Perempuan Dan Perasaan