Hidup

 

Kita memiliki "dua" kehidupan. Dan yang kedua akan dimulai ketika kita menyadari bahwa kita hanya punya satu.

-Confusius

Sungguh indah susunan dan cara penyampaian yang dikemukakan oleh Confusius. Awalnya ia mengatakan dua, dan kemudian menjelaskan bahwa itu hanya satu. Tapi dia tetap mengiyakan bahwa kita punya dua hidup dari kata "Dan yang kedua" di kutipan tersebut. Artinya kita punya dua kehidupan, yang pertama, saking kelamnya mungkin, sampai tidak bisa dikategorikan hidup. Yang kedua adalah hidup yang benar-benar hidup. Jadi kesimpulannya ya kita hanya punya satu hidup. Yang satu itu tidak dianggap.

Dari kutipan tersebut juga kita bisa menyadari bahwa kita bisa benar-benar merasakan 'hidup' ketika kita menyadari bahwa kita sedang hidup. Maksudnya kamu itu sedang hidup kalau kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan sekarang. Kalau  kamu saja tidak sadar jika sedang hidup, bagaimana mana kamu bisa merasakannya. Rumit ya? ya tentu saja, tidak ada kata simple yang bisa menyampaikan  maksud tersebut.

Berarti ada dua fase di dalam kehidupan manusia. Fase "Lalai" dan fase "Sadar". Semua manusia pasti pernah mengalami dua fase tersebut, atau 'akan' jika enggan dibilang pernah. Fase lalai adalah ketika kita tidak mengetahui bahwa kita sedang hidup, tidak mengetahui apa tujuan hidup, dan tidak mengetahui bahwa kesempatan hidup itu hanya 1 kali. Ya! benar-benar 1 kali saja, tidak lebih.

Laksana anak kecil yang hidup tak mengetahui apa tujuannya. Tidak mengetahui kenapa dia harus capek-capek bangun pagi kemudian berangkat ke sekolah. Tidak tahu kenapa sih kita harus makan sayuran yang tidak enak itu. Tak juga pernah berpikir, bodo amat; kalau hidup ini cuman 1 kali. Tujuan hidupnya pun hanya didikte oleh orang tuanya.

Namun semakin beranjak dewasa, tentu ia akan semakin sadar pentingnya tujuan hidup. Semakin sadar kenapa sayur yang pahit itu malah baik bagi kehidupannya. Dan ternyata apa yang ia lakukan di masa lalu itu sangat bodoh sekali.

Begitulah agaknya gambaran kita, seperti anak-anak yang tak sadar apa pun. Yang masih didikte oleh lingkungan dan kewajiban. Namun tentu seiring berjalannya waktu kita akan semakin terbangun akan makna dari hidup. Akan tersentuh dengan kenyataan bahwa hidup itu ya cuman satu kali saja, tidak lebih.

Hidup itu bukan masa lalu, bukan juga masa depan. Hidup itu detik yang sedang kita jalani sekarang. Ya, detik yang berjalan ketika kalian membaca tulisan ini adalah hidup. Coba tarik napas dalam, tutup mata dan rasakan sekarang itu kita sedang hidup. Masa lalu itu bukan hidup, ia hanya pelajaran yang kita gunakan untuk hidup yang sekarang. Masa depan itu bukan hidup, bagaimana bisa dikatakan hidup, barang yang belum ada wujudnya?

Kalau kita sudah tahu ilmunya, tapi mengapa kita tetap tidak bisa merasakan "hidup". Mudah saja jawabannya, kita tahu rasa permen itu manis, tapi kalau kita sedang sakit tentu semuanya akan terasa hambar atau mungkin pahit. Ya sama dengan jiwa kita. Kalau jiwa atau hati sedang sakit, ia tak bisa merasakan apa-apa. Ia tahu dan punya semua ilmu untuk menjadi lebih baik, tapi sayang ia tak bisa merasakannya. Memangnya kita pernah lihat anak kecil yang sedang sakit tapi lahap makannya? hehe. Tetap saja kan kalau tidak dipaksa makan keadaan akan semakin memburuk.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Tentu saja dengan obat. Tapi kita semua sepakat bahwa obat itu pahit rasanya. Kadang kepahitan hidup kita adalah obat dari ketololan kita terhadap makna hidup. Berkali-kali sudah diberi obat yang pahit pun masih tidak sembuh, berarti mungkin obatnya kurang mujarab. Atau mungkin malah kita yang memang sudah didiagnosa kematiannya karena tidak tertolong lagi.

Kalau membaca tulisan ini tidak tersentuh, ya wajar saja. Alquran yang berada di puncak sastra saja tidak membuat hati kita menangis? bagaimana hanya ini tulisan yang hanya dibuat oleh manusia yang bodoh ini. Mungkin hati kita sudah sekeras batu, atau lebih keras dari itu.

Hidup yang cuman sekali ini harusnya kita gunakan untuk menunjukan penghambaan kita kepadaNya. Merasakan segala nikmat Nya. Kadang kita diberi rasa pahit untuk mengajarkan indahnya rasa manis. Begitu pun cobaan itu hadir hanya untuk mengajari kita bahwa hal biasa yang selama ini kita anggap sepele akan menjadi nikmat luar biasa kalau itu dihilangkan.

Hidung yang mampet akan rindu dengan nyamannya bernapas. Hanya ketika hidung mampet, kita bisa merasakan nikmatnya bernapas. Buktinya sekarang, hidung kita sehat tapi kita tidak bisa merasakan nikmatnya bukan? hehe. Itulah hebatnya Dia. Bahkan cobaan pun untuk mengajari kita bagaimana caranya bersyukur. Mungkin juga "Lalai" pada hidup yang pertama itu untuk mengajari berharganya "Hidup" pada yang kedua. Kita tidak akan pernah bisa menghargai sesuatu sampai kita pernah kehilangannya, bukan?

Kalau ditanya kapan kita akan menyadari bahwa kita hanya punya satu hidup. Jawabannya ketika kita mati. Ketika itu kita akan sangat menyadari betapa pentingnya satu detik di dalam hidup kita. Bahkan orang-orang yang sudah mati banyak sekali yang berharap dihidupkan "satu hari lagi saja" untuk bisa merasakan hidup, yang benar-benar hidup, setelah ia tahu bahwa hidup itu hanya satu kali. Tapi sayang, ketika kita sadar nanti tentu kita sudah tidak bisa merasakan hidup. Karena kehidupan akhirat itu hanya representasi dari kehidupan dunia kita. Di dunia tidak merasakan "Hidup" di akhirat pun hanya merasakan siksa. Duh malangnya nasib.

-Gaza Satria Lutfi

Komentar

Posting Komentar

Populer

Dosa Besar Sehari-hari

Pesantren Melek Zaman

Sibuk, apa itu?

Setiap Orang Punya Keindahan, Lho

Perempuan Dan Perasaan