Sambat

Photo by <a href="https://unsplash.com/@thips?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Thiébaud Faix</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/FafRV4gMZ0Q?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>


Manusia itu makhluk lemah, tapi pengen merasa dirinya kuat. Manusia itu penuh kekurangan, tapi bernafsu untuk mencapai kesempurnaan. Manusia itu faqir tapi selalu ingin segalanya terpenuhi. Entah celaan apalagi yang bisa dilontarkan untuk kita manusia-manusia bodoh ini.

Hari-harinya hanya dipenuhi oleh keluhan, sambat sana-sini, seakan-akan dirinya makhluk yang paling harus dikasihani. Padahal setiap orang pasti punya keterpurukannya masing-masing yang mungkin tidak ditunjukan kepada orang lain.

Tapi, tapi... kalau memang butuh dikasihani kenapa malah mengeluhnya ke manusia yang notabene juga butuh dikasihani. Di sisi sebaliknya, Allah yang open house 24 jam dengan segala kekuasaannya tak pernah dijadikan tempat curhat dan tetap saja memilih sambat ke manusia. Begitulah sifat bawaan semua manusia, ingin yang instan dan langsung terealisasikan karena memang kalau curhat ke manusia itu rasanya langsung plong. Selain itu kalau kita curhat kepada manusia biasanya kita langsung mendapat perhatian langsung terhadap masalah kita. 

Sifat bawaan yang kita punya tidak boleh menjadi alasan seumur hidup untuk kita selalu begitu. Api yang sifat dasarnya membahayakan bisa jadi manfaat kalau diatur suhu dan pemakaiannya. Air yang sifat dasarnya menghidupkan malah membahayakan kalau datang tak teratur.

Tunggu, tunggu... tadi lagi bahas sambat kan, hehe. Kenapa sih kita selalu sambat? Selalu saja setiap hari kita tak lewat dari satu kalimat keluhan terhadap diri ini atau malah terhadap dunia ini. 

Sambat terhadap diri itu muncul dari ekspetasi yang berlebihan terhadap diri kita. Entah itu ekspetasi yang muaranya ke harapan atau pun yang muaranya ke putus asa. Kalau keduanya sudah berlebihan pasti deh yang muncul itu sambat. Harapan apapun yang berlebihan biasanya tidak dibarengi dengan usaha yang sepadan karena pekerja keras tidak akan berlebihan dalam bermimpi. Padahal kan sudah jelas الأجر بقدر التعب , "Hasil mengikuti seberapa payah kita menjalaninya". Ekspetasinya bisa baca kitab dalam waktu 3 bulan, ngajinya sehari cuman 30 menit. Ekspetasinya bisa hafal Quran dalam waktu satu tahun, nderesnya sehari cuman setengah juz. Apalagi? mau ditambahi, tambahi sendiri. Kebanyakan harapan yang terlalu tinggi itu tidak pernah dibarengi oleh usaha yang terlalu tinggi juga. Jadi harusnya kita tahu diri, bisa menempatkan harapan itu harus sesuai dengan usaha yang sedang kita kerjakan supaya tidak sambat melulu.

Atau ekspetasi yang muaranya putus asa. Kayak gini lho, dia mau bisa baca kitab tapi bayangannya sudah jauh banget. "Wah akan butuh waktu lama nih kalau aku belajar dari 0" "Orang-orang aja belajar 2 tahun baru bisa, aku gimana ya keburu tua" "Wah waktunya ga cukup, aku keburu banyak tanggungan". Kebanyakan wah, wah, wah akhirnya gak dijalani. Ini dalam kitab tassawuf biasa disebut طول الأمل atau bahasa kerennya "Overthinking". Ini juga termasuk penyakit hati, yaitu orang yang kebanyakan melihat ke depan tanpa mau memulai dan memikirkan masa sekarang,

Orang yang terlalu banyak melihat ke depan tidak akan fokus kepada apa yang sedang dijalaninya saat ini. Ia juga menjadi lupa akan kematian yang mungkin merenggutnya 10 menit lagi. Akhirnya hidupnya hanya tentang menikmati khayalan-khayalan tentang betapa hebatnya dirinya kalau seperti ini, betapa keren dirinya kalau seperti itu, dan sebagainya.

Agaknya kita harus memberi batasan antara harapan dan khayalan. Kalau itu muncul sekali dengan usaha 10 kali maka itu namanya harapan. Tapi kalau itu muncul 10 kali dengan usaha 1 kali, tentu itu namanya khayalan. Alangkah baiknya kita mulai mengurangi Khayalan dan memperbanyak usaha agar itu menjelma menjadi harapan.

Sambat juga bisa muncul dari banding-banding diri sendiri dengan orang lain. Kita lihat orang lain bisa ini dengan mudah, akhirnya sambat kenapa diriku ga bisa. Kita lihat kenapa orang bisa hafal sesuatu dengan mudah dan aku enggak, akhirnya sambat. Lihat ada orang yang pinter kitabnya, kok aku gak bisa-bisa, akhirnya sambat. Padahal di balik itu kita gak tahu jerih payah menyakitkan yang harus dirasakan oleh orang tersebut. Dia sedang mencoba memahami rumitnya kitab ketika kita sedang tidur, dia sedang mengulang-ulang hafalannya sampai mulutnya kering ketika kita asyik ngobrol, dia bergumul dengan kebosanan usaha ketika kita asyik dengan scrolling Fyp. Lho gitu kok mau bandingin diri sendiri sama orang lain. Balik lagi ke ekspetasi bukan?

Tetapi hal penting yang harus kita tanamkan adalah bahwa kita harusnya sadar, semua itu sudah diatur oleh Allah sedemikian rupa. Mungkin kalau kita cepat menghafal sesuatu kita akan terbentuk menjadi pribadi yang senang dengan rasa "Instan". Mungkin kalau kita bisa baca kitab, tapi kita malas untuk memahami kerumitannnya kita malah ditanyai akan nikmat tersebut di akhirat. Jadi semuanya sudah ada yang mengatur, tak perlu mengeluh setiap saat.

Semua manusia itu pasti memiliki kekurangan. Kamu selalu saja melihat kelebihan seseorang dan membandingkannya dengan kekuranganmu. Sangat tidak adil ! Kalau mau membandingkan kelebihan, ya bandingkan juga dengan kelebihan-kelebihanmu. Bandingkan sekalian kekurangan dia dengan kelebihanmu kalau sambatmu tidak sembuh-sembuh. Inget kufur terhadap kelebihanmu itu yang menjadikan kamu tidak diberi kelebihan yang lain. Jadi dari pada sibuk dengan apa yang tidak kamu punya kenapa tidak sibuk dan mengasah apa yang hebat dari dirimu?


-Gaza Satria Lutfi

Komentar

Populer

Dosa Besar Sehari-hari

Pesantren Melek Zaman

Sibuk, apa itu?

Setiap Orang Punya Keindahan, Lho

Perempuan Dan Perasaan