Waktuku, Sudah Benar?

Photo by <a href="https://unsplash.com/@ajster412?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Andrew Sterling</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/Ja-ynO7TCyg?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>

Waktu. Semua orang sepakat ia adalah harta tak ternilai bagi setiap insan. Kecuali bagi orang-orang yang tak mengetahui betapa berharganya dia, tentu. Laksana para hewan yang tak tahu betapa berharganya emas-emas di muka bumi ini, atau tumpukan uang kertas yang mereka kira kertas pada umumnya yang boleh mereka robek-robek. Begitulah segala sesuatu yang berharga tidak bisa kita ketahui nilainya kecuali dengan mengetahui ilmunya. Mungkin tulisan pendekku tentang waktu bisa membangkitkan ilmu kita tentangnya: Waktu Yang "Hilang"

Setelah kita tahu nilai dari sang waktu, lantas apa? Setelah kita memiliki banyak uang, lantas apa? Tentu, memakainya untuk hal-hal yang menurut kita bermanfaat. Lalu bagaimana cara kita mengetahui apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak? Lagi-lagi dengan ilmu, dan setiap ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri untuk mengatakan hal ini bermanfaat dan yang lain tidak.

Orang-orang psikologi akan mengatakan, psikologi adalah kunci dari kebahagiaan umat manusia karena ini-itu. Orang-orang mantiq akan mengatakan, segala ilmu yang ada di dunia akan menuju kepada kebenaran yang kuat jika dibarengi dengan ilmu mantiq karena alasan ini-itu. Orang fiqh akan mengatakan, pondasi kedamaian hidup di dunia adalah dengan menerapkan fiqh pada kehidupan sehari-hari sebab ini-itu juga. Dan seterusnya, dan seterusnya. 

Jika kamu bertemu dengan para ahli di bidangnya masing-masing, kamu akan mendapati betapa cantiknya penjelasan mereka tentang alangkah pentingnya ilmu yang mereka dalami untuk keberlangsungan dunia, dan tentu betapa subjektifnya mereka ketika menilai ilmu tersebut. Beginilah ilmu yang tak akan habis hal-hal menakjubkan tentangnya. Bagaimana bisa orang-orang merasa cukup dengan ilmu setelah membaca hanya satu-tiga buku saja.

Ah, pembahasan menyimpang yang terlalu jauh. Mari balik lagi ke waktu. Setelah memahami nilai mahalnya yang luar biasa, lantas apakah secara otomatis kita akan menggunakannya dengan baik? Dalam bahasa, jual-beli biasa dikatakan sebagai مقابلة شيء بشيء (Menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain) atau bisa juga kita sebut sebagai barter. Lafaz مقابلة mengindikasikan bahwa sesuatu yang kita tukar itu memiliki nilai yang sama dengan sesuatu yang kita dapat. Dalam fiqh, orang-orang yang tidak mentasarufkan hartanya sesuai dengan nilai yang dimilikinya biasa disebut dengan السفيه, akar katanya adalah سفاهة yang dalam kamus artinya Kebodohan dan Ketololan.

Kembali lagi, artinya setelah kita tahu nilai berharga dari sang waktu, kita juga harus tahu dong apa-apa saja yang bisa menyamai nilai dari waktu itu sendiri. Kita sudah punya harta berupa waktu, sekarang kita akan membelajankannya ke mana, untuk membeli apa. Apakah selama ini kita sudah membelanjakannya dengan benar atau jangan jangan kita termasuk orang yang السفيه tadi? Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mengetahui harga tak ternilai dari waktu saja tidak cukup, kita juga harus mengetahui barang dan sesuatu yang nilainya sama dengan sang waktu.

Jadi, apakah benar ambisi yang selama ini kita kejar sudah benar-benar senilai dengan waktu itu sendiri? Apakah segala hal yang kita cintai sudah setara dengannya, sampai-sampai kita rela menghabiskan waktu untuk itu?

Ambisi dan cinta, dua hal yang mungkin akan kita barter dengan harta terbesar dalam hidup kita, waktu. Ambisi menghafal quran, matan, hadis, syiir dan sebagainya; ambisi menjadi ahli fiqh, tafsir, qiraah, ushul fiqh, mantiq atau mutafannin sekaligus; atau ambisi lain yang setiap kita pasti berbeda-beda dalam hal ini. Setiap ambisi sudah barang pasti menghabiskan waktu, dan tentu kita sudah men-rate ambisi sedemikian mahal-tinggi sehingga kita mau membayarnya dengan waktu kita yang berharga. Dan yang kedua, cinta. Ah, tentu. Siapa sih orang yang tidak mau menghabiskan waktunya dalam cinta.

Aku sendiri, selama mengejar ambisi-ambisiku, selalu seperti selalu dikejar-kejar. Ya tentu, dikejar-kejar oleh nafsuku sendiri yang sangat berhasrat untuk mencapai titik puncak dari ambisi tersebut. Pandangan, hati, pikiran, bahkan mungkin seluruh jiwaku terfokus pada satu titik, yaitu titik puncak. Sampai tak terpikir olehku melihat pemandangan indah yang terbentang di kanan dan kiri selama perjalanan berlangsung. Sampai tak sempat menarik nafas panjang dan menikmati udara segar di perjalanan. Sampai juga tak terpikir tujuan awalku menuju puncak itu apa. Lalu setelah sampai puncak barulah tersadar, ternyata antara berada di puncak dan di bawah sana, sama saja ya.

Ah, sial. Aku sudah kehilangan waktuku sekali lagi. Waktu untuk menikmati perjalanan. Ternyata sampai di puncak tak seseru perjalanan yang aku lalui. Bodohnya aku, selama perjalanan hanya memikirkan bagaimana indahnya puncak. Lalu setelah di puncak sini, apa yang aku lalukan? Ah tidak ada ternyata. Dan ternyata di depan masih ada perjalanan lagi yang harus aku lalui. Kalau begitu aku harus menikmati sisa perjalananku ini, bukannya malah fokus pada titik puncak yang ternyata biasa saja.

Tidakklah Allah memberikan kita waktu di dunia kecuali untuk memperlihatkan segala kebesaran-Nya, keindahan sifat-sifat-Nya, dan kesempurnaan yang dimiliki-Nya. Malah menurutku satu-satunya sesuatu yang bisa setara nilainya dengan waktu adalah hal-hal ini, atau yang bisa kita singkat dengan "Mengenal Allah". Tidak ada hal lain yang bernilai, senilai dengan mengenal Allah. Semua ambisi dan cinta yang kita miliki seharusnya hanyalah wasilah untuk kita mengenal Allah. Menikmati perjalanan artinya melihat kebesaran yang Allah miliki, Sifat indah yang Ia miliki, dan juga melihat Kesempurnaan. Jangan sampai hal-hal remeh seperti "Sampai Di Puncak" malah memalingkan fokus kita dari hal-hal tak ternilai semacam ini.

Akhirul Kalam, Semoga kita semua diberi kesempatan untuk mengenal-Nya. Tentu mengenalnya di dunia, karena semua orang di akhirat nanti pada akhirnya juga akan mengenal Hakikat Yang Sebenarnya. Alangkah indahnya kita bisa mengenal Allah di dunia, dan menghabiskan waktu untuk terus menambah ilmu kita tentang Allah.

Wallahu A'lam.


-Gaza Satria Lutfi

Komentar

Populer

Dosa Besar Sehari-hari

Pesantren Melek Zaman

Sibuk, apa itu?

Setiap Orang Punya Keindahan, Lho

Perempuan Dan Perasaan