Buku Itu Berjudul The Righteous Mind

Sungguh pengalaman berharga dan sebuah kehormatan bisa menyelesaikan buku ini. Setelah maraton buku selama seminggu terakhir ini, akhirnya tepat di 7x24 jam, Aku menutup hidangan dengan buku yang sangat memuaskan, membuatku sampai di puncak klimaks hingga lembar terakhir buku tepat sebelum cover. Buku itu berjudul "The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion" (The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama)

Awal aku tertarik dengan buku ini karena melihat status WhatsApp salah satu teman yang mengunggah bacaannya tentang review buku ini di laman Menggugat Rasionalitas, Mengakali Intuisi. Kemudian setelah membaca reviewnya,  aku langsung menggerakan kaki untuk pergi ke Gramedia guna mencari buku ini. Itu terjadi sekitar tahun 2022. Tentu aku pernah sedikit mencicil buku ini sampai hampir setengahnya, tapi kemudian terhenti sampai sekarang. Setelah muncul tekad untuk maraton buku –kebetulan buku ini aku bawa ke Mesir, akhirnya aku menyelesaikannya hanya dalam 3 hari.

Selama tiga hari itu, hampir di setiap tempat kepalaku menunduk, bukan untuk melihat Hp tentunya, tapi untuk fokus dan terpaku kepada buku ini. Di bis, Kafe, Dirasah Khassah, Kelas, Masjid, Kamar, dll. 3 hari untuk 420 lembar saja mungkin terdengar mudah, apalagi sebagian besar waktu dicurahkan untuk itu. Tapi sebenarnya, buku—yang lebih mirip disertasi ini, sangatlah berat dan berbobot untuk dibaca. Tidak bisa hanya membaca santai dan tenggelam dalam imajinasi seperti membaca novel Harry Potter yang terkenal itu. Buku ini butuh fokus yang tajam, tanpa distraksi apa pun. Kalau kita tidak cinta membaca, sungguh nasihat yang buruk sekali untuk mulai menumbuhkan kecintaan dalam membaca dengan membaca buku ini.

Kecintaan itu salah satu jalannya adalah dengan terbiasa. Karena kita terbiasa akan sesuatu, sudah barang pasti kita akan tenggelam dalam sesuatu tersebut dan merasakan kenikmatan di dalamnya. Apa pun yang menjadi minat kita, mulailah mencintai buku dari situ. Kalau kita suka berfantasi dan berimajinasi, maka mari kita mulai membaca novel-novel yang berjumlah jutaan itu. Kalau suka organisasi, mulailah membaca buku-buku terkait bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Kalau suka psikologi, mulailah dengan itu, dan seterusnya dan seterusnya. Kalau semuanya suka? Mulailah dengan yang paling kamu sukai.

Kembali kepada buku The Righteous Mind. Buku ini penuh dengan data, hasil penelitian, dan juga bukti-bukti saintifik. Sungguh buku yang sangat cocok dibaca oleh Mas Riza, yang katanya sedang sibuk itu. Buku ini bercerita tentang moralitas atau psikologi moral yang nantinya akan dikaitkan ke agama dan politik.

Ketika menyelami buku ini, sungguh banyak sekali lintasan-lintasan pikiran (Khawatirul Afkar) yang mengatakan bahwa "Lho, ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan di kitab-kitab tasawuf". Pikiranku seperti terbuka dan tercerahkan bahwa tasawuf bukan hanya hal mistik dan metafisik belaka. Ternyata di sini banyak penelitian-penelitian sains–yang tentu tujuannya awalnya bukan untuk menjelaskan tasawuf, yang menunjukan bahwa tasawuf itu bisa diteliti secara ilmiah.

Bagian satu dan dua adalah bab yang mudah bagiku. Tidak ada pergolakan batin Malaikat-Iblis yang terjadi. Artinya, aku sangat meng-iya-kan semua yang dia katakan di situ. Kemudian saat masuk ke bagian tiga yang berjudul besar "Moralitas Mengikat dan Membutakan", mulailah muncul gejolak tersebut. Di bagian ini, mulailah dia membahas agama. Tentu ini akan mengusik sedikit kenyamananku ketika membaca. Namun, seiring aku terus memberanikan untuk membaca, akhirnya munculnya juga titik terang dan kesepakatan antara hati dengan tulisan yang dia buat.

Penulis buku ini secara gamblang mengatakan bahwa dia adalah seorang atheis dan saintis, serta orang yang liberal. Tapi, pembahasan dalam buku ini sungguh netral dari fanatik golongan. Dia secara gamblang menyindir kaum liberal dan bahkan mengatakan dunia tanpa agama mungkin akan menjadi dunia yang buruk. Dan dia juga mengatakan bahwa agama sangat berperan penting dalam evolusi moral manusia, bahkan evolusi manusia itu sendiri.

Setelah selesai melewati bagian tiga, akhirnya sampailah aku pada bagian kesimpulan. Laksana desert setelah makan malam, kesimpulan memberikan aku kepuasan dan pengalaman akhir yang indah. Biasanya, orang akan lebih mengingat pengalaman awal atau pun akhir yang indah lebih dari selainnya.

Setelah bagian kesimpulan, adalah bagian ucapan terimakasih yang tetap aku baca sebagai rasa hormat terhadap karya monumentalnya. Ternyata di situ aku malah mendapat tambahan ilmu. Dia mengatakan "Bahwa kita tidak mengungkapkan rasa terimakasih untuk membayar utang atau membuat impas, melainkan untuk memperkuat hubungan". Betul sekali, dan setuju. Sama seperti: Kita tidak mengungkapkan maaf untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk menunjukan betapa menyesal dan sedihnya kita atas sebuah kesalahan dan betapa kita menganggap hubungan kita istimewa.

Setelah itu adalah bagian daftar acuan. Berisi 20 halaman full tentang nama-nama buku atau penelitian yang dia baca. Ini sangat membahagiakan bagi aku, untuk mengetahui bahwa sebanyak itu dia membaca untuk membuat karya monumental ini.

Dan titik klimaks selanjutnya adalah bagian halaman terakhir dari buku, tepat sebelum cover belakang yang melindungi buku, yaitu "Tentang Penulis". Kenapa aku anggap titik klimaks? Karena di situ hanya berisi 5 baris kalimat. Ah, ternyata orang-orang hebat tidak pernah mengenalkan dirinya sendiri kepada orang lain secara eksplisit. Mereka mengenalkan dirinya lewat tulisan-tulisannya.

Dalam perjalanan ketika membaca buku ini, konsep yang tertanam dan cocok bagiku adalah aku seorang konservatif yang kaku. Yang bahasa fiqhnya aku itu ketat dalam masalah hukum-hukum dan aturan yang berlaku. Namun, sejalan dengan berjalannya halaman, di akhir buku aku malah mendapati sepertinya aku lebih cocok dianggap sebagai liberal yang sering disindir di buku ini, haha.

Buku ini juga membahas yang dalam tasawuf disebut Maqom Fana', dan di buku ini disebut ranah keramat. Tentu maksudku membahas adalah memberikan data-data penelitian yang terkait hal tersebut. Wow, bahkan Maqom Fana' juga bisa diteliti dengan sains?

Akhir kata, selain membantu aku untuk lebih memahami manusia dan perbedannya, buku ini juga membuka gambaran bahwa tasawuf itu tidak selalu tentang hal-hal metafisik yang tak punya dasar logika ataupun sains. Jadi tidak sabar membaca maraton karya monumental dalam bidang tasawuf yang selalu membuat kepala geleng-geleng ketika membacanya, Ihya Ulum ad-din.

-Gaza Satria Lutfi

Komentar

Populer

Dosa Besar Sehari-hari

Pesantren Melek Zaman

Sibuk, apa itu?

Setiap Orang Punya Keindahan, Lho

Perempuan Dan Perasaan