Jadilah Fan MU, Maka Kamu Akan Jadi Filsuf
Terhitung sudah hampir belasan tahun Aku mendukung MU. Dari mulai masa-masa akhir keemasan Alex Ferguson sampai masa yang gak jelas seperti sekarang, MU tetaplah menjadi cintaku. Kalau bicara soal loyalitas dan kesetiaan, sepertinya fans MU tidak perlu diragukan lagi. Apalagi melihat masa-masa sekarang yang bisa dibilang MU sedang terpuruk.
Dari keterpurukan MU, kita bisa lihat mana fans sejati dan mana yang hanya mendukung saat senang saja. Seperti kata Imam Syafii di dalam syiirnya yang luar biasa
صَديقٌ لَيسَ يَنفَعُ يَومَ بُؤسِ
قَريبٌ مِن عَدوٍّ في القِياسِ
وَما يَبقى الصَديقُ بِكلِّ عَصرٍ
وَلا الإِخوانُ إِلّا لِلتَآسي
Entah bagaimana, aku menganggap kawan yang tak bersimpati saat diriku dilanda nestapa sebagai teman semi musuh
Bukankah seharusnya kawan dan sanak saudara itu hadir secara utuh, menghibur satu sama lain ketika salah seorang tengah rapuh?
Alex Ferguson pun pernah berkata "Kalau kamu tidak mendukung kami di saat kami kalah, jangan dukung kami saat kami menang". Kelihangan Fans atau teman yang tidak berkualitas seperti itu bukan sesuatu yang bisa dianggap sebuah kehilangan. Itu malah menjadi anugerah dan obat ketenangan bagi kita.
Menjadi Fan MU artinya berani untuk berharap walaupun sudah disakiti berkali-kali. Ketika MU akan bertanding, fan MU akan semangat dan excited untuk melihat timnya bermain. Dia menaruh harapan besar bahwa tim kesayangannya akan main cantik malam ini. Akhirnya, saat tiba peluit dibunyikan, hancurlah harapannya, pupuslah ekspetasinya. Pun begitu, sudah melihat timnya main jelek, mereka masih saja menonton dan berharap serta menunggu bahwa tiba-tiba keajaiban datang pada menit-menit terakhir. Setelah peluit akhir ditiupkan dan hasil yang diterima mengecewakan mereka bukannya berputus asa dan tak mau berharap lagi.
Harapan bagai candu untuk fan MU. Berapa kali pun mereka ditampar realita, sebanyak itu pula harapan akan muncul lagi dan lagi. Konsep seperti ini cukup baik untuk diterapkan dalam cara kita menjalani hidup. Berapa kali pun kita gagal, kita harus terus membangun harapan dan kepercayaan diri untuk mencoba lagi dan lagi. Gagal, itu tidak pernah ada. Satu-satunya kegagalan adalah ketika kita menyerah untuk bangkit lagi dan lagi.
Menjadi fan MU artinya siap untuk mendengar olokan dan tawa dari orang lain. Rasanya, makanan pokok fan MU adalah dua hal di atas. Selalu saja ada bahan untuk menertawakan Manchester United. Seperti kata pepatah "Tidak MU, tidak makan". Pun begitu, dibalik olokan dan tawa dari orang lain, cinta terhadap Manchester United tidak berkurang sedikit pun. Memang, saat kita mencintai, kita tak pernah peduli kata-kata orang. Menyakitkan? Betul. Tapi, untuk menjadi alasan berhenti mencintai? Tentu tidak.
Fan MU juga punya tingkat resilience (ketahanan) yang tinggi. Bayangkan, sudah lihat 30 menit main jelek, masih saja berani menonton sampai full 90 menit. Dalam kehidupan sehari-hari, resilience sangat penting untuk memberikan kita sebuah pertumbuhan dan kualitas diri. Rata-rata orang yang berhasil adalah orang yang memiliki tingkat resilience terhadap kebosanan yang tinggi. Ia kuat dan tahan untuk merasakan kebosanan. Selain itu, ia juga tahan untuk menahan rasa sakit atas tamparan realita yang tidak sesuai harapannya.
Bagaimanapun, tugas seorang manusia adalah untuk "mengerjakan" sesuatu, bukan untuk "menghasilkan" sesuatu. Hasil sudah ada di tangan Allah, kita hanya perlu mengerjakan dan melakukan apa yang menjadi kewajiban kita. Kebanyakan orang membayangkan bahwa euforia keberhasilan itu luar biasa. Membayangkan bahwa sukses itu sangat nikmat dan menyenangkan.
Tapi, apasih makna sukses itu? Setelah kita mencapainya nanti, lalu apa? Bukankah kita akan "Mengerjakan" sesuatu yang lain lagi? Kita terlalu membesar-besarkan euforia kesuksesan dan keberhasilan sampai lupa untuk merasakan euforia proses. Euforia sukses itu paling lama bertahan sehari, atau mungkin setengah hari. Ah, mungkin kurang dari itu. Tapi, euforia proses bisa kita terus rasakan sampai akhir hayat kita.
Saat menonton MU, sekarang aku tidak lagi melihat hasilnya. Ketika hasilnya menang tapi cara bermainnya buruk, rasanya itu ada hal yang mengganjal. Namun, kalau hasilnya kalah tapi cara bermainnya cantik, rasanya itu tenang dan bahagia. Apalagi kalau main cantik dan hasilnya menang. Konsep ini aku sebut sebagai "Hate to get stuck", Benci Untuk Terjebak.
Ingat ketika macet? kita sangat membenci macet bukan karena macet itu sendiri, melainkan karena perasaan stuck dan terjebak. Perasaan di mana waktu tempuh sebenarnya bisa lebih cepat kalau tidak ada kemacetan di depan mobilku ini. Perasaan "Harusnya kalau cuman 10km aku bisa sampai dalam 30 menit, gara-gara macet malah jadi 2 jam". Yaitu, bayangan tentang sesuatu yang ideal dan sempurna. Titik maksimal dari segala sesuatu yang harusnya bisa dicapai tapi tidak bisa karena hal-hal tertentu. Banyak depresi, anxiety dan penyakit mental lainnya timbul dari perasaan ini. Perasaan ketika kita hanya stuck pada satu proses dan keadaan. Ketika kita merasa kita tidak berkembang dan tumbuh.
Tapi, ingat! Jangan-jangan terjadi bias antara tumbuh yang kita pahami dengan tumbuh yang sebenarnya. Dewasa ini, terutama Gen Z, kita sudah terbiasa mendapat segala sesuatu dengan cepat. Pengen makan enak tinggal pencet-pencet layar, gofud, makanan datang ke depan rumah. Pengen tau info tertentu, tinggal ketik-ketik keyboard, masuk google, dapat info yang diinginkan. Pengen dopamine cepat, tinggal buka layar, buka tiktok, dapat dopamine dan kesenangan. Semua sekarang serba cepat sampai-sampai membiaskan makna tumbuh yang kita bayangkan dan tumbuh yang sebenarnya.
Kita membayangkan bahwa yang namanya tumbuh itu, kita harus langsung membaca 1 kitab khatam dalam waktu satu hari, dan itu harus langsung paham. Kita membayangkan kalau menghafal Quran itu bisa langsung jadi sekali coba, tak perlu murojaah lagi. Kita membayangkan kalau membaca muqorror itu harus langsung paham sekali baca. Atau belajar gitar harus sehari jago, belajar syiir harus setengah hari ahli dan seterusnya-dan seterusnya. Tipikal. Begitulah cara zaman ini membentuk diri kita yang terbiasa serba instan yang akhirnya membiaskan arti tumbuh.
Sehari membaca 1 halaman buku, itu sudah tumbuh. Karena kalau kita lakukan dalam 1 bulan, artinya kita sudah membaca 30 halaman. Sehari murojaah setengah juz itu sudah tumbuh, karena sebulan kita sudah murojaah 15 juz. Membaca muqorror sehari 1 halaman tidak buruk juga, karena dalam waktu setengah tahun pada saat termin satu kita sudah bisa mengkhatamkan muqorror. Artinya tumbuh itu tidak selalu tentang hal besar. Hal-hal kecil juga artinya tumbuh. Bahkan malah. Tidak ada tumbuh di dunia ini yang selalu tentang "Hal Besar", semuanya hanya langkah-langkah kecil yang bersatu padu menjadi sesuatu yang kita harapkan
Membersihkan hati, melunakkan hati juga sama qiyasnya. Tidak perlu amalan-amalan yang besar dan melelahkan. Cukup istiqomah satu amal, itu artinya kita sudah membersihkan hati. Apa pun amalnya itu. Bisa sholat sunnah walaupun cuman 1 hari sekali. Bisa membaca Quran, walau sehalaman. Bisa membaca kitab tasssawuf pun seperti itu.
Balik lagi ke nonton MU. Aku sangat senang kalau ada perkembangan dalam cara bermain MU. Jadi walaupun hasilnya tidak begitu menyenangkan, tapi kalau lihat ada perkembangan rasanya itu bahagia. Begitulah caraku menonton MU sekarang. Kalau memang gak ada perkembangan tapi tetap ditonton, balik lagi ke harapan dan cinta yang memang tak bisa dilogikakan, hehe.
Dari mendukung MU juga aku belajar untuk membatasi yang namanya harapan. Harapan atas kebaikan dan harapan kebahagiaan itu boleh dilakukan. Tapi kalau itu melebihi batas ekspetasi yang wajar, tentu itu akan menyakiti diri kita sendiri. Setelah berkali-kali ditampar oleh realita dalam mendukung Manchester United, sekarang aku terbentuk menjadi pribadi yang bisa membatasi harapan.
Kalau tanya kenapa mendukung MU, ya begitulah cinta. Mau dikasih logika, cacian dan realita apa pun, cinta tetaplah cinta. Jangan mendefinisikan cinta karena definisimu itu akan merusak makna dari cinta itu sendiri.
-Gaza Satria Lutfi
Jangan diikuti yak kawan , cuma dilakukan org berjiwa berharap
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Hapus