Sudut Pandang Lain Tentang "Amal"
Dalam beberapa pembahasan tasawuf, kita dianjurkan untuk tidak melihat amal kita, dan mengingat dosa-dosa yang sudah kita perbuat. Ini sangat bagus untuk selalu memberikan rasa awas terhadap diri kita selama hidup di alam ujian ini. Tapi, tau gak kalau sebenarnya ada sisi lain yang agaknya harus kita liat dalam pembahasan ini.
Pertama-tama aku mau mengutip ucapan Imam Ar-Razi dari kitab tafsirnya mafatih al-ghaibواعْلَمْ أنَّ تَحْقِيقَ الكَلامِ فِيهِ أنَّ الإنْسانَ ما لَمْ يَعْتَقِدْ في أمْرٍ مِنَ الأُمُورِ كَوْنَهُ مُشْتَمِلًا عَلى خَيْرٍ راجِحٍ ونَفْعٍ زائِدٍ، فَإنَّهُ لا يَرْغَبُ فِيهِ، ولِذَلِكَ سُمِّيَ الفاعِلُ المُخْتارُ مُخْتارًا لِكَوْنِهِ طالِبًا لِلْخَيْرِ والنَّفْعِ،
Bahwa manusia, ketika ia tidak mempercayai bahwa sesuatu yang dia perbuat itu mengandung kebaikan atau kemanfaatan, maka ia tidak akan senang untuk melakukan itu. Karena itulah perbuatan yang kita pilih disebut ikhtiyar, karena seseorang yang melakukan ikhtiyar itu mencari al-khair(kebaikan) dan manfaat
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia itu makhluk yang egois, walaupun kadar egois seseorang pasti berbeda-beda tergantung bagaimana cara mereka memandang dunia. Kita pasti mencari sesuatu yang memberikan kebaikan kepada diri kita dan kemanfaatan. Seperti yang disebutkan Imam Ar-Razi, kita tidak bisa menyukai sesuatu kecuali hal tersebut dapat memberi kita kebaikan dan kemanfaatan. Ketika kita tidak merasakan adanya manfaat dan kebaikan dalam suatu pekerjaan, maka kita cenderung tidak menyukainya dan akhirnya malas untuk melakukannya.
Ketika kita tidak melihat amal yang kita perbuat, itu akan membuat diri kita cenderung meremehkan apa yang kita lakukan, yang kemudian akan berakhir pada kita tidak percaya pada kemanfaatan yang ada pada amal tersebut. Kemudian lagi, motivasi untuk melakukan amal baik tersebut akan hilang.
Belum cukup sampai situ, setelah kita tidak melihat amal kita, kita malah selalu mengingat kesalahan kesalahan dan dosa yang sudah kita perbuat. Ini semakin mendekatkan diri kita pada keputusasaan yang termasuk dari salah satu dosa besar. Kita meremehkan kebaikan dan proses yang kita lakukan dan mebesar-besarkan kesalahan dan kekurangan yang kita miliki. Inilah mengapa kita tidak termotivasi untuk melakukan sesuatu, karena tidak ada kebaikan dan manfaat–yang langsung, ketika kita melakukan hal tersebut.
Motivasi dalam mengerjakan sesuatu adalah lawan kata dari malas. Malas adalah sebuah keadaan di mana kita tidak memiliki motivasi untuk melakukan sesuatu, bukan karena diri kita malas dan memiliki akhlak yang buruk. Maka dari itu, sekiranya penting deh untuk sekali-kali memahami dan mempelajari bagaimana kita beramal dan amal apa saja yang harusnya kita lakukan, atau kalau sudah melakukan, penting untuk menata niat dan sudut pandang ketika melakukannya.
Arti yang sebenarnya dari tidak melihat amal kita yang disebutkan dalam kitab tasawuf adalah kita itu nggk melihat amal itu datang dari diri kita sendiri yang akhirnya akan menimbulkan sifat sombong dan ujub terhadap diri kita sendiri. Kalau tetap melihat amal dari sisi bahwa Allah lah yang telah memberi kita taufiq untuk melakukan ini, Allah lah yang menganugerahkan hidayah kepada hati kita untuk melakukan ini, dan Allah pasti memberikan kita balasan yang terbaik, maka ini semua sangat dianjurkan untuk dilatih.
Ulama dulu berkata كُنَّا نَتَعَلَّمُ النِّيَّةَ كَمَا نَتَعَلَّمُ الْعَمَلَ Dulu kita selalu belajar bagaimana caranya berniat sama seperti kita selalu belajar bagaimana caranya melakukan sesuatu. Sebagaimana kita tahu, bahwa niat adalah pondasi dari suatu perbuatan. Salah satu cara yang disebutkan oleh Ulama adalah dengan berhenti sejenak sebelum melakukan sesuatu, dan menata niat "Kenapa aku mengerjakan ini". Selain dapat memberikan rasa ikhlas ketika mengerjakan, dengan cara ini kita bisa lebih istiqomah untuk melakukan sesuatu.
Sebagai seorang muslim, hendaknya motivasi kita melakukan sesuatu adalah karena Allah semata. Kita berusaha semaksimal mungkin dengan keyakinan bahwa Allah akan memberi kita hasil yang terbaik. Siapakah yang tidak percaya akan kebaikannya Allah, pengaturannya Allah terhadap dunia ini. Apakah Allah pernah memberikan kita sesuatu yang buruk? Ataukah kita yang tidak bisa menangkap maksud baik, hikmah, yang ada di baliknya.
مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
(Al An'aam 6:160) : Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Banyak sekali ayat serupa yang mengatakan bahwa kebaikan yang kita perbuat, pasti dibalas lebih oleh Allah daripada usaha yang kita lakukan, sedangkan kesalahan dibalas sesuai dengan kesalahan itu sendiri. Ini bisa menjadi pegangan bagi kita untuk tidak selalu melihat kesalahan kita lebih besar daripada kebaikan yang akan diberikan Allah karena amal kita.
Dan iniliah konsep tawakal yang sebenarnya. Kita melakukan sesuatu dan selanjutnya menyerahkan hasilnya kepada Allah. Dengan keyakinan tinggi, Allah pasti akan memberikan yang lebih baik dan terbaik, tugas kita hanya perlu melakukan kebaikan. Motivasi memang banyak macamnya, semuanya boleh dipakai. Tapi, motivasi selain Allah, itu tidak akan bertahan lama. Itulah mengapa Ia memiliki sifat البقاء (Kekal) dan selainnya adalah الفناء (Akan hancur dalam waktu dekat), dan itulah juga mengapa Allah disebut sebagai الصمد (Tuhan Yang bergantung padanya segala sesuatu)
-Gaza Satria Lutfi
Komentar
Posting Komentar