Tamakmu Martabatmu
Dalam hidup ini setiap orang pasti punya ambisi. Dalam KBBI, ambisi diartikan sebagai "Keinginan yang besar untuk memperoleh sesuatu". Ya, "sesuatu", kata yang umum, bukan cuman harta, tahta, ataupun wanita. Setiap sesuatu yang menarik diri kita untuk dapat memperolehnya akan membentuk sebuah ambisi. Ambisi inilah yang menjadi roda penggerak serta motivasi setiap orang di muka bumi ini untuk melakukan sesuatu yang besar. Meskipun begitu, kita harus berhati-hati terhadap ambisi kita karena kalau tidak dikontrol, ambisi akan menjadi ketamakkan.
Tamak, keinginan yang besar akan sesuatu, konotasinya buruk berbeda dengan ambisi. Dalam ketamakan ada sesuatu yang "lebih" daripada seharusnya. Maka jika ambisi adalah keinginan yang besar untuk memperoleh sesuatu, tamak adalah keinginan yang besar untuk memperoleh sesuatu yang lebih dari kecukupan. Sama seperti ambisi, tamak juga bukan soal harta, tahta, atau wanita. Jika kita ingin sesuatu, apapun itu, lebih dari kecukupan kita, maka kita bisa didefinisikan sebagai orang yang tamak. Semisal, waktu tidur yang cukup bagi kita adalah 8 jam, setelah 8 jam kok diri kita malas untuk bergerak dan masih ingin rebahan, itu bisa kita namakan tamak, tamak dalam istirahat.Di sini, aku akan menyajikan tiga potongan syiir dari Imam Syafi'i yang sangat menyentuh hati:
أَمَتُّ مَطامِعي فَأَرَحتُ نَفسي
فَإِنَّ النَفسَ ما طَمِعَت تَهونُ
Karena memang setiap kali jiwa bersikap tamak, dia akan otomatis menjadi rendah nan hina
وَأَحيَيتُ القُنوعَ وَكانَ مَيِّتاً
فَفي إِحيائِهِ عِرضٌ مَصونُ
Karena dengan menghidupkannya, ada martabat yang akan terjaga
إِذا طَمَعٌ يَحِلُّ بِقَلبِ عَبدٍ
عَلَتهُ مَهانَةٌ وَعَلاهُ هونُ
Potongan bait pertama menunjukkan bahwa salah satu cara memperoleh hati yang tenang adalah dengan menghilangkan ketamakkan yang ada di dalam diri. Selama hati kita selalu tamak, maka ia tidak akan beristirahat untuk terus mengejar dan memikirkannya. Dan kalau keadaannya seperti itu, sudah barang pasti kita akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, yang kebanyakan pasti akan membawa kita untuk merendahkan diri dan menghilangkan martabat. Lihatlah ketika nafsu kita sedang berada pada puncaknya untuk mendapatkan sesuatu, bukankah hal-hal yang kita lakukan akan menurunkan martabat?
Potongan bait kedua adalah obat dari ketamakan, yaitu sikap neriman atau bahasa yang sering kita kenal qonaah. Dengan menerima apa yang terjadi, mencukupkan diri dengan apa yang sudah dimiliki, kita akan selalu terjaga dari ketamakan yang akan membawa kita kepada kehinaan. Qonaah adalah sifat yang akan selalu menjaga martabat kita. Orang yang neriman akan selalu menyejukkan untuk dipandang, dan menenangkan untuk bersamanya.
Potongan bait ketiga masih tentang martabat. Orang yang sudah melekat dalam dirinya sifat tamak akan kehilangan martabatnya. Kalau kata salah satu temenku "Kalau mentalnya sudah minta, mau dikasih berapapun pasti tetap kurang". Aku artikan, kalau mentalnya sudah tamak, mau dikasih segala sesuatu yang ada di dunia pasti akan tetap kurang.
Maka, ini tentang mental. Apakah mental kita tamak dan minta-minta, atau neriman dan tak banyak keinginan. Karena begitulah dunia, seperti air laut, setiap kali kita teguk untuk menghilangkan dahaga, ia malah akan menambah dahaga kita terhadap air.
Syiir yang selanjutnya adalah:
Rendah diri hanya ada di dalam ketamakan. Orang yang merasa diawasi Allah pasti tidak akan tamak
Bukankah burung yang berhasil terbang membelah langit, akan kembali ke tanah pada akhirnya?
Dalam syiir yang kedua ini lagi-lagi imam Syafi'i membeberkan bahwa sumber dari hilangnya martabat seseorang adalah tamak. Bahkan beliau menghiperbolis bahwa satu-satunya sebab kerendahan diri adalah sifat tamak dan tidak ada yang lain. Setelah menguatkan statement itu, imam Syafi'i mengajak kita sama-sama merenungkan bahwa burung yang terbang setinggi itu melintasi cakrawala, bukankah akan kembali turun ke tanah. Pernahkah kita melihat burung yang selalu mengudara? Artinya setiap sesuatu yang kita dambakan akan hadir, kemudian pergi dan hilang sama seperti awalnya. Tidak ada sesuatu yang akan membuat kita selalu bahagia. Kalau kita sudah terbang dengan sayap kebahagiaan setinggi langit, maka tinggal tunggu waktu kapan sayap itu akan lelah dan menurunkan kita ke bumi kesedihan. Begitulah kebahagiaan, tidak ada yang abadi dan stagnan pada satu titik.
ما الذُلُّ إِلّا في الطَمَع · مَن راقَبَ اللَهَ رَجَع
ما طارَ طَيرٌ وَاِرتَفَع · إِلا كَما طارَ وَقَع.
Bukankah burung yang berhasil terbang membelah langit, akan kembali ke tanah pada akhirnya?
Dalam syiir yang kedua ini lagi-lagi imam Syafi'i membeberkan bahwa sumber dari hilangnya martabat seseorang adalah tamak. Bahkan beliau menghiperbolis bahwa satu-satunya sebab kerendahan diri adalah sifat tamak dan tidak ada yang lain. Setelah menguatkan statement itu, imam Syafi'i mengajak kita sama-sama merenungkan bahwa burung yang terbang setinggi itu melintasi cakrawala, bukankah akan kembali turun ke tanah. Pernahkah kita melihat burung yang selalu mengudara? Artinya setiap sesuatu yang kita dambakan akan hadir, kemudian pergi dan hilang sama seperti awalnya. Tidak ada sesuatu yang akan membuat kita selalu bahagia. Kalau kita sudah terbang dengan sayap kebahagiaan setinggi langit, maka tinggal tunggu waktu kapan sayap itu akan lelah dan menurunkan kita ke bumi kesedihan. Begitulah kebahagiaan, tidak ada yang abadi dan stagnan pada satu titik.
Lalu, kenapa kita selau ingin lebih, lebih, dan lebih. Lagi-lagi, ini masalah mental. Kalau mental kita adalah melihat sesuatu yang tidak dimiliki, maka setelah mendapatkan satu hal yang kita idam-idamkan, kita akan lanjut kepada tamak hal yang lain. Begitu seterusnya.
Awalnya kita mengidam-idamkan punya rumah sendiri, yang penting bisa buat tidur, tidak terganggu dengan siapapun. Setelah punya rumah sendiri, ketamakan kita berpindah "Kok rumahnya sempit banget sih", setelah mendapat rumah yang luas ketamakan kita menjerit "Percuma rumah luas tapi ga ada isinya", setelah mengisinya dengan furniture tamak kita belum puas juga "Ah, percuma parabotan bagus-bagus tapi tidak banyak yang mengunjungi", setelah sering dikunjungi sambat lagi "tamu kok gak berhenti-berhenti, tau diri lah", dan seterusnya. Begitulah kalau mentalnya adalah mental tamak, dan bukan mental neriman, selalu ingin lebih dari apa yang dimiliki sekarang.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
Kita harus melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang neriman, menerima apa yang sudah diberikan Allah dengan cara bersyukur. Sesuatu yang belum kita miliki dan kita idam-idamkan, biarlah diurus oleh Allah bagaimana nantinya akan sampai kepada kita. Fokus utama kita adalah mensyukuri apa yang ada sekarang ini, bukan me-nyambat-i apa yang tidak kita miliki. Ingat, rasa syukurlah yang membuat kita bahagia, bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur.
Syiir terakhir di dalam tulisan ini masih milik imam Syafi'i yang membicarakan tentang konsep orang kaya - orang miskin.
Seseorang, kaya tak berharta, dan tak butuh sama sekali manusia
Karena memang kekayaan itu bukan "memiliki sesuatu" tetapi "tidak butuh sesuatu"
Ah. Siapapun yang memiliki dzauq Arab pasti akan tersenyum-senyum melihat masterpiece seperti ini. Sungguh luar biasa satu bait gubahan imam Syafi'i di atas. Sengaja aku sajikan di akhir supaya menjadi dessert bagi para pecinta manis. Setelah makanan berat, bukannya saatnya bersantai dengan makanan manis nan lezat.
Dalam kasus uang, kita kaya bukan karena kita memiliki uang tak terbatas. Justru kita kaya karena kita tidak membutuhkan uang. Kalau memang kaya adalah tentang banyaknya uang, lalu kenapa para pejabat yang sudah miliaran uangnya masih korupsi? Berarti kaya bukanlah tentang uang. Lalu, kenapa orang disebut miskin? karena dia membutuhkan. Membutuhkan makanan, minuman, tempat tinggal. Maka batasan kaya - miskin adalah tentang butuh dan tidak butuh, karena lawan katanya miskin adalah kaya. Jika miskin itu artinya butuh maka kaya adalah tidak butuh. Ketika kita memiliki satu dunia dan seisinya, tapi kita masih membutuhkan sesuatu yang lebih, terus, terus, dan terus, maka kita adalah orang termiskin di dunia. Tapi, kalau yang kita punya hanya makanan untuk sehari dan semalam, atau setengah hari saja, tapi kita tidak merasa membutuhkan yang lebih maka kita adalah orang terkaya di dunia.
Awalnya kita mengidam-idamkan punya rumah sendiri, yang penting bisa buat tidur, tidak terganggu dengan siapapun. Setelah punya rumah sendiri, ketamakan kita berpindah "Kok rumahnya sempit banget sih", setelah mendapat rumah yang luas ketamakan kita menjerit "Percuma rumah luas tapi ga ada isinya", setelah mengisinya dengan furniture tamak kita belum puas juga "Ah, percuma parabotan bagus-bagus tapi tidak banyak yang mengunjungi", setelah sering dikunjungi sambat lagi "tamu kok gak berhenti-berhenti, tau diri lah", dan seterusnya. Begitulah kalau mentalnya adalah mental tamak, dan bukan mental neriman, selalu ingin lebih dari apa yang dimiliki sekarang.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ
Kita harus melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang neriman, menerima apa yang sudah diberikan Allah dengan cara bersyukur. Sesuatu yang belum kita miliki dan kita idam-idamkan, biarlah diurus oleh Allah bagaimana nantinya akan sampai kepada kita. Fokus utama kita adalah mensyukuri apa yang ada sekarang ini, bukan me-nyambat-i apa yang tidak kita miliki. Ingat, rasa syukurlah yang membuat kita bahagia, bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur.
Syiir terakhir di dalam tulisan ini masih milik imam Syafi'i yang membicarakan tentang konsep orang kaya - orang miskin.
غَنيٌّ بِلا مالٍ عَنِ الناسِ كُلِّهِم
وَلَيسَ الغِنى إِلّا عَنِ الشَيءِ لا بِهِ
Karena memang kekayaan itu bukan "memiliki sesuatu" tetapi "tidak butuh sesuatu"
Ah. Siapapun yang memiliki dzauq Arab pasti akan tersenyum-senyum melihat masterpiece seperti ini. Sungguh luar biasa satu bait gubahan imam Syafi'i di atas. Sengaja aku sajikan di akhir supaya menjadi dessert bagi para pecinta manis. Setelah makanan berat, bukannya saatnya bersantai dengan makanan manis nan lezat.
Dalam kasus uang, kita kaya bukan karena kita memiliki uang tak terbatas. Justru kita kaya karena kita tidak membutuhkan uang. Kalau memang kaya adalah tentang banyaknya uang, lalu kenapa para pejabat yang sudah miliaran uangnya masih korupsi? Berarti kaya bukanlah tentang uang. Lalu, kenapa orang disebut miskin? karena dia membutuhkan. Membutuhkan makanan, minuman, tempat tinggal. Maka batasan kaya - miskin adalah tentang butuh dan tidak butuh, karena lawan katanya miskin adalah kaya. Jika miskin itu artinya butuh maka kaya adalah tidak butuh. Ketika kita memiliki satu dunia dan seisinya, tapi kita masih membutuhkan sesuatu yang lebih, terus, terus, dan terus, maka kita adalah orang termiskin di dunia. Tapi, kalau yang kita punya hanya makanan untuk sehari dan semalam, atau setengah hari saja, tapi kita tidak merasa membutuhkan yang lebih maka kita adalah orang terkaya di dunia.
Begitulah konsep kaya dan miskin yang aku pahami. Satu hal, kita akan selalu miskin di hadapan Allah karena kita selalu membutuhkan-Nya. Tapi ingat, selalu miskin di hadapan-Nya, bukan di hadapan manusia. Di hadapan mereka, kita harus menjadi orang terkaya yang tak butuh apa-apa darinya, karena kebutuhan kita ada pada Allah semata.
Terakhir, penulis mengajak untuk melihat apa yang kita miliki agar selalu bisa bersyukur dan kurangi apa yang kita butuhkan supaya bisa menjadi orang yang kaya. Perpaduan yang indah bukan? Orang kaya yang bersyukur. Allah menjadi Dzat yang sempurna karena Dia memiliki sifat qiyamuhu bi nafsihi, tidak butuh siapapun. Jika kita ingin mencapai kesempurnaan, maka kita harus menyedikitkan kebutuhan kita. Begitulah cara manusia mencapai puncak kesempurnaan seperti yang diajarkan oleh kanjeng Nabi Muhammad ﷺ
Nabi yang ditawarkan gunung emas menjulang tinggi. Namun beliau tolak, dengan bangga perasaan hati
Terakhir, penulis mengajak untuk melihat apa yang kita miliki agar selalu bisa bersyukur dan kurangi apa yang kita butuhkan supaya bisa menjadi orang yang kaya. Perpaduan yang indah bukan? Orang kaya yang bersyukur. Allah menjadi Dzat yang sempurna karena Dia memiliki sifat qiyamuhu bi nafsihi, tidak butuh siapapun. Jika kita ingin mencapai kesempurnaan, maka kita harus menyedikitkan kebutuhan kita. Begitulah cara manusia mencapai puncak kesempurnaan seperti yang diajarkan oleh kanjeng Nabi Muhammad ﷺ
وَرَاوَدَتْهُ الْجِبَالُ الشُمُّ مِنْ ذَهَــــــــــبٍ
عَنْ نَفْسِهِ فَأَرَاهَا أَيَّمَا شَـــــــــــمَمِ
-Gaza Satria Lutfi
Komentar
Posting Komentar